JAKARTA – Perempuan menjadi tulang punggung atau pencari nafkah utama dalam keluarga bukan lagi hal yang aneh saat ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, perempuan yang bekerja di Indonesia jumlahnya mencapai 48,75 juta orang. Sebagian besar bergerak di bidang usaha jasa.
Dominasi perempuan di bidang usaha ini dibandingkan dengan pekerja laki-laki mencapai 58,04 persen.
Di tengah masifnya pemanfaatan teknologi digital yang memudahkan pemasaran, tidak sedikit pula perempuan terjun sebagai pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Menyoroti fenomena tersebut, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar sebuah webinar bertajuk “Perempuan Menggerakkan Ekonomi Keluarga”.
Webinar yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Ibu tersebut disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Kompas TV, Sabtu (19/12/2020).
Webinar membahas kisah empat perempuan penggerak ekonomi, antara lain Nani Zulminarni (Pendiri dan Direktur Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga - PEKKA), Nurdini Prihastiti (CEO @indogarment.official, founder @damakara.rtw dan @khana.homedress), Ristin Jatnika (Pencipta Produk Mere Naturals), dan Dian Erra Kumalasari (founder Oerip Indonesia).
Kisah pertama datang dari Nani Zulminarni yang membantu menggerakkan perekonomian perempuan yang menjadi kepala keluarga lewat Yayasan PEKKA.
Ia mengatakan saat ini sebanyak 19 juta keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan oleh karena berbagai sebab, seperti suami meninggal dunia, perceraian, suami tidak bekerja, atau status belum menikah.
Mereka melakukan banyak upaya untuk memastikan pemenuhan kebutuhan anggota keluarganya.
Namun, sayang sekali upaya tersebut seringkali terhambat oleh kesulitan mengakses sumber daya, modal, dan kesempatan oleh karena konstruksi sosial soal perempuan.
Alhasil, mereka kesulitan untuk mengembangkan perekonomiannya. Ketika sudah merintis usaha untuk menafkahi keluarga, persoalan yang mereka hadapi adalah akses ke permodalan dan akses pemasaran.
“Perempuan bisa dikatakan punya peran sebagai katup perekonomian nasional. Mereka punya peranan sebagai produsen, artisan, juga konsumen dalam perekonomian. Namun, di sisi lain mereka kesulitan untuk meningkatkan ekonominya sendiri,” ujar Nani.
Oleh sebab itu, Nani mengatakan sebanyak 80 persen perempuan kepala keluarga berada di strata ekonomi terendah.
Menyadari hal tersebut, Nani bersama Yayasan PEKKA pada 2001 menggandeng perempuan-perempuan kepala keluarga untuk bergabung sebagai anggota Komunitas PEKKA.
Melalui komunitas ini, Nani dan Yayasan PEKKA ingin membentuk sebuah kekuatan kolektif yang dapat membangkitkan anggota komunitas. Ia menyebutnya dengan istilah “power within”.
Langkah pertama menciptakan kekuatan tersebut adalah dengan membentuk koperasi simpan pinjam sebagai akses permodalan Komunitas PEKKA. Anggota komunitas boleh menabung semampunya. Bahkan, tabungan boleh berupa hasil alam dari kebun mereka.
“Dengan kebiasaan menabung ini kami mengubah kebiasaan konsumtif menjadi produktif. Mereka tidak lagi mengharapkan bantuan dari pihak lain tetapi percaya pada kemampuan sendiri. Mereka juga jadi belajar mengelola dana secara kolektif untuk masa depan,” ujar Nani.
Nani menceritakan dengan modal tabungan semampunya dari para anggota saat ini koperasi sudah menghimpun dana miliaran rupiah yang dapat diputar kembali sebagai pinjaman modal usaha.
Usai membentuk koperasi, Yayasan PEKKA pun memastikan perputaran ekonomi di dalam komunitas dengan mendirikan PEKKA Mart.
PEKKA Mart adalah wadah bagi perempuan kepala keluarga yang jadi anggota Komunitas PEKKA untuk memasarkan hasil tangannya.
“Kami menyebutnya perputaran ekonomi tertutup. Ketika anggota Komunitas PEKKA memproduksi minyak kelapa, jagung titi, sarung tenun, dan produk makanan, mereka menjual terlebih dahulu di PEKKA Mart. Nanti pembelinya adalah anggota komunitas juga. Misalkan ada 3.000 perempuan di dalam komunitas, ini bisa jadi pasar sendiri,” jelas Nani.
Komunitas PEKKA, lanjut Nani, kini menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitar di tempat mereka tinggal bahwa perempuan kepala keluarga dengan kondisi ekonomi terpuruk sekalipun dapat bangkit.
Kisah perempuan menggerakkan ekonomi dan saling menguatkan juga datang dari Ristin Jatnika, pemilik usaha minyak aromaterapi dengan merek Mere Naturals.
Usaha tersebut dirintisnya dengan misi menopang kondisi fisik dan psikis para ibu yang merasa letih mengurus anak sambil bekerja.
"Target marketnya memang ibu-ibu karena pengalaman pribadi punya anak 4 dan ngerasain gimana capeknya ngurus anak. Lalu saya bikin produk ini supaya ibu-ibu bisa rileks. Namun ternyata justru ibu-ibu ini lebih concern ke anak-anaknya," ucap Ristin.
Ia tidak pernah menyangka dirinya mampu terjun sebagai pelaku UMKM, hingga suatu saat sang suami harus resign dari tempatnya bekerja.
Mencoba menafkahi keluarga di tengah keterbatasan waktu dan mobilitas karena saat itu telah memiliki empat orang anak, Ristin merintis Mere Naturals.
“Saya akui bukan suatu hal yang mudah. Saya memiliki keterbatasan, tetapi saya yakin itu akan jadi kelebihan kalau dilihat dari sudut pandang yang lain,” ujarnya.
Ristin menjalankan usahanya berbasis online. Dalam pengembangan produk dan menjalankan operasional usaha, ia berkolaborasi dengan tim Mere Naturals yang sebagian besar adalah perempuan secara daring.
“Berkolaborasi menyatukan misi itu tidak mudah tapi karena misi kami sama yaitu usaha bukan hanya untuk diri sendiri tetapi membantu orang lain, maka akhirnya berjalan saja,” ujar Ristin.
Jatuh bangun dialami Ristin hingga suatu saat ia nyaris menyerah. Namun, Ristin beruntung memiliki sistem pendukung, yaitu keluarga kecilnya, yang tidak menganggap perempuan bekerja sebagai sesuatu yang tabu.
Suaminya yang kini telah bekerja kembali dan berdinas di Papua serta anak-anaknya menjadi penyemangat.
Ristin bersyukur konsistensi yang dijalaninya ini justru membuahkan hasil dan mendapatkan kepercayaan dari sang suami bahwa istrinya mampu dan bisa berbagi kebaikan bagi orang lain.
Turut memberdayakan masyarakat
Kisah yang sedikit berbeda datang dari founder merek clothing Dama Kara, Nurdini Prihastiti dan Dian Erra Kumalasari pendiri merek fesyen etnik Oerip Indonesia.
Nurdini Prihastiti membagikan kisahnya membangun bisnis garmen dengan brand Dama Kara. Dalam menjalankan bisnis fesyen tersebut, Nurdini menggandeng penyandang autisme sebagai kreator motif-motif kain batik tulis yang jadi bahan pembuat produk clothing-nya.
Melalui Dama Kara, Nurdini ingin mengajak masyarakat untuk melihat bahwa setiap orang punya keistimewaan dan keunikan, tidak terbatas pada stigma mengenai penyandang autisme.
“Jangan melihat seseorang dari kekurangannya, tetapi dari kelebihan yang dimiliki. Ternyata penyandang autis pun punya kelebihan, salah satunya dalam menggambar,” terang Nurdini.
Ia menjelaskan, setiap gambar yang dihasilkan anak-anak autis unik dan menarik untuk diaplikasikan sebagai corak berbagai jenis pakaian yang ia produksi. Salah satu jenis gambar yang dihasilkan dan diterapkan dalam fashion adalah gambar-gambar fauna.
Sebagai bentuk sokongan agar para penyandang autisme dapat mandiri ekonomi, Nurdini menyisihkan sekian persen dari setiap produk pakaian yang terjual sebagai royalti bagi kreator-kreatornya tersebut .
“Saya ingin anak autis yang selama ini dipandang sebelah mata bisa punya pendapatan dan punya kelebihan untuk berkarya,” jelasnya.
Kisah inspiratif disampaikan oleh Dian Erra Kumalasari. Lewat Oerip Indonesia, Dian komitmen serta melestarikan budaya tradisional dan nilai luhur bangsa melalui wastra, mulai dari batik, tenun, songket, sarung hingga busana tradisional.
“Kondisi penenun daerah sangat memprihatinkan. Karena itu tujuan Oerip Indonesia sejak awal adalah membantu penenun daerah. Selain membantu pemasaran kain karya mereka, kami juga turut menyelami kehidupan mereka,” jelas Dian.
Dengan menjual kain tenun dalam bentuk pakaian dan item fesyen, Dian ingin meningkatkan kecintaan akan tenun. Ketika tenun dikenal di seluruh Indonesia dan memiliki pasar, para penenun di pelosok dapat meningkatkan perekonomiannya.
Penjualan dilakukan melalui pameran, situs web Oerip Indonesia, dan akun Instagram Oerip Indonesia. Upaya Dian berhasil. Keunikan tenun, batik, songket, dan sarung dikenal hingga ke Austria, Belanda, Yunani, Jerman, Amerika Serikat. dan Afrika.
Selain itu, ia pun memberdayakan masyarakat di sekitar pabrik pakaian Oerip Indonesia dengan menerapkan prisip produksi zero waste.
Kain sisa potongan pola diolah kembali menjadi anting-anting, kalung, sepatu, dan masih banyak lagi dengan memberdayakan ibu-ibu di sekitar pabrik.
Kisah keempat perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan tak hanya identik dengan urusan domestik. Lebih dari itu, dengan semangat saling membantu dan wawasan yang luas perempuan dapat memberi kontribusi besar bagi bangsa.